Kali ini kita akan bercerita tentang cerita mulimongga
atau manusia raksasa yang pernah ada di pulau sumba.
Baik kita langsung saja.
Dari
tiga puluh cerita rakyat Sumba Timur yang berhasil penulis himpun belum lama
ini, sebagian besar bercerita tentang mulimongga (manusia raksasa), tentang
meurumba (singa dan harimau). Di Sumba Barat ada cerita tentang gajah.
Dalam
image orang Sumba diyakini, bahwa manusia raksasa itu memiliki tinggi badan 4
meter, dan sekali melangkah bisa mencapai beberapa ratus meter. Ini sebuah
hiperbolisme tentunya, mengingat Homo Neanderthal yang ditemukan di Dusseldorf
Jerman Barat pada 1856 mempunyai tinggi badan hanya 210 cm, berat badan 150 kg,
serta volume otak 2000cc (orang Eropa modern 1480-1550 cc).
Manusia
raksasa Sumba Barat disebut maghurumba atau meurumba, sedangkan di Sumba Timur
disebut mulimongga dengan ciri-ciri bulu panjang, gigi sebesar kapak, sekali
melangkah beberapa ratus meter, karena itu suku Kambera menyebutnya “punggu
pala” yang artinya potong kompas.
Sifat-sifat
manusia raksasa Sumba, bodoh, takut anjing, takut mendengar suara tokek,
kanibalistis. Hal ini mengingatkan kita pada Homo Soloensis yang hidup 429.000
– 236.000 tahun yang lalu, yang menurut Dr. Frans Dahler dalam bukunya Asal dan
Tujuan Manusia juga kanibalis.
Kecuali
itu tutur kata manusia raksasa Sumba dikatakan belum sempurna sama seperti
anak-anak yang beru belajar berbicara, mengingatkan kita pada Homo Neanderthal
yang hidup 250.000 tahun yang lalu juga halnya sama.
Beberapa cerita burung Sumba Timur menyebutkan, sekitar tahun 1927 masih ditemukan satu mulimongga di Desa Komba Pari Kecamatan Lewa, kemudian juga di Kecamatan Mangili, bahkan ada marga Mangili menyebutkan bahwa mereka turunan mulimongga.
Sekitar
25 tahun yang lalu di Desa Watumbelar, kecamatan Lewa dikhabarkan ditemukan
rangka manusia yang tinggi badannya 4 meter.
Di
Kecamatan Kodi Sumba Barat, dekat tanjung Keroso ada nama tempat Maghurumba.
Diyakini di sinilah kuburan manusia raksasa yang angker, kerena itu kalau lewat ke situ tidak boleh menyebut-nyebut namanya agar tidak
mendapat bencana.
Di
Sumab Timur ada juga tempat yang disebut Meurumba, namun secara etimologis/etiologis
nama itu mengandung arti kucing hutan raksasa yang merupakan gambaran singa dan
harimau , sehingga besar kemungkinan di Sumba pernah hidup singa, harimau dan
gajah.
(Baca: Belum Saatnyakah Teori Wallace Itu
Ditinjau Kembali?/Frans W. Hebi, Dian no.5 Th XI, 10-8-1984).
Ada
jenis raksasa lain dalam cerita Kodi yang disebut lengga ghughu (kuku panjang
dan lengkung) yang ada kesamaannya dengan raksasa Jawa 600.000 tahun yang lalu.
Lengga
Ghughu sudah bisa bertutur kata secara sempurna tetapi masih bodoh sehingga
diperdaya oleh dua anak kecil yang ibunya dibunuh raksasa itu.
Lengga
Ghughu membakar ubi di bawah pahon, sementara dua anak malang berada di atas
pohon. Semua ubi yang kecil dimakan lebih dahulu oleh raksasa tadi, yang besar
ditaruh di belakang.
Anak-anak
menjolok semua ubi yang di belakang. Ketika raksasa berpaling ke belakang untuk
mengambil ubi-ubi yang besar, ternyata tidak ada satupun yang tersisa.
Raksasa
yang bodoh mencurigai semua anggota tubuhnya kalau-kalau mereka yang berbuat
curang. Ditanyainya satu per satu kemudian dijawab sendiri olehnya. Misalnya,
“belakang, kaukah yang mencuri ubi saya?”. “Tidak, saya malahan berkorban ditimpa matahari ketika kau menggali ubi”, sendiri
menjawab.
Setelah
semua anggota tubuh ditanyai, kecuali pantat, Lengga Ghughu berkesimpulan bahwa
pantatlah yang berbuat curang, dan karenanya tidak perlu ditanyai lagi. Dia
meruncing batang tamiang yang ujungnya dimasukkan ke pantat seraya
menusuk-nusukkannya hingga tewas.
Masih
banyak cerita raksasa Sumba.
Darimana
makhluk-makhluk itu?
Sebenarnya
bukan hanya Sumba yang memiliki mitos tentang manusia raksasa. Hampir di
seluruh dunia. Di India namanya Yeti, di Cina Meh-The, Kaptar dari Rusia, Alma
dari Mongolia, dan Bigfoot dari Amerika Utara.
Menurut
para ahli purbakala, empat kali bumi mengalami pencairan es. Jaman es pertama
dimulai 600.000 hingga 500.000 tahun yang lalu. Jaman es kedua, 480.000 hingga
420.000. Jaman es ketiga dan keempat (terakhir) berlangsung antara 230.000 –
180.000, dan 180.000 – 10.000 tahun yang lalu.
Dalam
keadaan es manusia purba cenderung mencari daerah yang lebih panas antara lain
ke Indonesia yang ketika itu masih sedaratan dengan benua asia. Dapat
dimengerti mengapa begitu banyak fosil manusia purba di Indonesia, khususnya di
Jawa seperti Manusia Solo (Homo Soloensis), Manusia Trinil, Manusia Sangiran,
dan Manusia Majokerto.
Kiranya
menusia-manusia inilah yang dimitoskan dan dijelmakan dalam dongeng-dongeng
orang Sumba. Raksasa Jawa misalnya, ditafsirkan hidup antara 600.000 – 543.000
tahun yang lalu (jaman es pertama), ternyata seumur dengan Manusia
Australopithecus Boisei di Tanzania Afrika Selatan hasil temuan Dr. Leaky.
Contoh
lain, gajah yang disebut-sebut dalam dongeng Sumba, ternyata bukan sekadar
dongeng. Pada 26-8-1978 tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkheologi Nasional
Jakarta yang terdiri dari Dr.R.P.Soejono Rokhus Due Awe, Agung Sukardjo,
Suroso, serta Dr. Sartono dari Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung,
menemukan mandibula (rahang) gajah.
Stegedon
ini ditemukan di Watumbaka 14 km dari Waingapu. Oleh Sartono dalam artikelnya,
“Penemuan Fosil Stegedon di Pulau Sumba (NTT)” dinamakannya Stegedon
Sumbaensis. Itu merupakan rentetan penemuan stegedon Sompoensis Sulawesi (1964), Stegedon Timorensis dari Timor (1969), Stegedon
Trigonocephalus Florensis dari Flores (1975), dan Stegedon Mindanensis dari
Mindanau Filipina. (Amerta Berkala Arkheologi Nasional Jakarta 1981, hl. 54)
Mendahului
penemuan di Watumbaka, pada tahun 1977 di kecamatan Lewa, ketika Kornelis Ng.
Bani menggali sumur, dia menemukan fosil gajah pada kedalaman 4,64 meter.
Begitu pula ketika menggali sumur yang dekat sumur lama pada tahun1981 dan 1982
lagi-lagi dia menemukan fosil yang sama dengan gadingnya dalam bentuk mini.
Fosil-fosil ini dikirim ke Jakarta untuk diteliti. Kornelis menyimpan satu gigi
geraham dengan ukuran 75 mm, tinggi 80 mm dan lebar 30 mm.
Dari
Jakara lewat Kepala Bagian Kebudayaan Kab. Sumba Timur, Panji Manu, diperoleh
berita bahwa fosil di Lewa menunjukkan jenis gajah kerdil yang hidup 45.000
tahun yang lalu, dan di tempat penemuan itu dulunya rawa-rawa.
Hasil
temuan fosil gajah baik di Watumbaka maupun di Lewa, termasuk Stegedon-
Stegedon di Indonesia Timur lainnya, sebenarnya membuktikan bahwa teori Wallace
yang dikenal dengan garis khayalnya yang membagi dunia fauna Indonesia bagian
Barat dan Indonesia bagian Timur tidak berlaku lagi.
Jika
temuan rangka purba di Kecamatan Rindi Kab. Sumab Timur tahun 2005 lalu membawa
hasil, berarti Homo Sumbaensis akan menambah khazana perfosilan di Indonesia.
Selain
itu apa yang menjadi mitos selama ini akan menjadi kenyataan seperti halnya
dengan dongeng tentang gajah. Tapi, hingga saat ini belum ada berita balik,
baik dari Bandung maupun dari Jakarta tentang hasil penelitian tersebut.
Demkanlah artikel ini semoga bermanfaat dan jangan lupa untuk sheere jika
bermanfaat buat sesama umat yang memiliki ragam agama badaya suku dan ras. Dan
jangan lupa tetap memberikan komentar apa bila masih ada yang belum disebut
atau kurang dalam penulisan ini.
Ikuti terus blog jejak lelaki sumba yang akan
memberikan pemahaman baru untuk kita semua.






0 comments:
Post a Comment